- September 8, 2015
- Posted by: admin
- Category: Berita
No Comments
Jakarta,BP
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyatakan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah berlangsung lebih dari seribu kali sehingga harus dievaluasi, agar kualitas Pilkada lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Kalau itu dilakukan sangat positif dalam penyelenggraan Pilkada serentak 9 Desember 2015 dengan mengedepankan etika berpolitik. Bukan perilaku distortif, karena menjadi pertaruhan integritas bagi parpol, KPU, Bawaslu, stackholder, masyarakat dan penegak hukum,” tegas Siti Zuhro di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (7/9).
Siti Zuhro mengakui sedih, jika pelaksanaan Pilkada rakyat cukup dibayar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu plus sembako pokok seperti Pemilu 2014. “Itu jelas sebagai perbudakan dan pelecehan politik rakyat. Ditambah lagi uang mahar bagi Parpol pengusung kandidat. Kalau ini dibiarkan, akan terjadi pembusukan dari dalam. Parpol oportunis, melanggengkan dinasti, dan napi lolos jadi calon kepala daerah. Pembusukan parpol dari dalam akibat tidak sepakat mendorong demokrasi yang tidak substantive. Yang ada demokrasi bertopeng hanya prosedur administratif,” tegas Siti.
Menurut Siti Zuhro, proses demokrasi membutuhkan waktu panjang, sehingga harus menunggu sampai parpol benar-benar siap menjalankan demokrasi substantive di tengah negara membutuhkan pemimpin yang kuat dan itu tidak harus militer.
Sementara itu Sekretaris Kelompok DPD MPR RI Muhammad Asri Anas menegaskan, partai politik gagal melakukan proses kaderisasi, sehingga calon kepala daerah yang diusung bukan kader terbaik, tapi calon berduit. Bahkan pengurus partai di daerah bisa dikalahkan orang lain karena tidak mempunyai uang. Masih ada mahar kepada parpol, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakomodir dukungan dua partai konflik, dan politik uang lain, sehingga hasil Pilkada dipastikan buruk.
“Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata masih gagal melahirkan kader terbaik, sehingga memilih calon lain yang berduit. Bahkan untuk menggolkan bakal calon kepala daerah, dilakukan dengan voting dan diperkuat KPU. Padahal, itu masalah administrasi, maka dalam Pilkada serentak harus membenahi Parpol dan KPU terlebih dahulu. Kalau tidak, hasil pilkada serentak amburadul,” tegas anggota DPD RI dari daerah Sulawesi Barat itu.
Menurut Asri Anas, ada Ketua DPD Partai, gagal menjadi calon kepala daerah, meski yang bersangkutan memenangkan dalam Pemilu 2014. “Anehnya banyak di antara mereka dimintai uang oleh partai sendiri dan jika tidak sanggup, yang diusung orang lain yang bukan kader, karena mempunyai uang,” ujarnya.
Karena itu kata Asri Anas, sekarang saatnya Presiden Jokowi menegakkan revolusi mental dan Nawacita – nya untuk menghasilkan pemimpin daerah ideal, sesuai kehendak rakyat dan mampu mensejahterakan rakyat.”Tak cukup calon pemimpin daerah hanya melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK. Kalau begini, Pilkada yang menjadi pesta biasa-biasa saja bagi rakyat, tanpa perbaikan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya,” tambahnya.
UU otonomi daerah menurut Asri Anas, juga tidak menjadi pemikiran mendalam bagi kepala daerah untuk memajukan dan mensejahterakan daerah. Padahal, pilkada langsung diharapkan melahirkan pemimpin, bukan penguasa. “Pemimpin pasti berkomitmen memajukan dan mensejahterakan daerah, dan itu jantungnya di parpol. Karena itu, parpol harus direformasi,” paparnya. duk