Pelaksanaan Pilkada Harus Dievaluasi

siti zuhro
 
 
 
 
 

Jakarta,BP
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyatakan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah berlangsung lebih dari seribu kali sehingga  harus dievaluasi, agar kualitas  Pilkada lebih baik   untuk meningkatkan  kesejahteraan rakyat.
 “Kalau itu dilakukan sangat positif dalam penyelenggraan Pilkada serentak 9 Desember 2015   dengan mengedepankan etika berpolitik. Bukan perilaku   distortif, karena   menjadi pertaruhan integritas bagi parpol, KPU, Bawaslu, stackholder,   masyarakat dan penegak hukum,” tegas Siti Zuhro di Gedung MPR  RI Jakarta, Senin (7/9).
 Siti Zuhro mengakui sedih, jika pelaksanaan Pilkada  rakyat  cukup dibayar    Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu plus  sembako pokok seperti  Pemilu 2014. “Itu jelas sebagai perbudakan dan pelecehan politik rakyat. Ditambah lagi uang mahar bagi Parpol pengusung kandidat. Kalau ini dibiarkan,   akan terjadi pembusukan dari dalam. Parpol oportunis,  melanggengkan dinasti, dan  napi lolos jadi calon kepala daerah. Pembusukan parpol dari dalam  akibat tidak sepakat mendorong demokrasi yang tidak substantive. Yang ada demokrasi bertopeng  hanya prosedur administratif,” tegas Siti.
 Menurut Siti Zuhro, proses demokrasi   membutuhkan waktu  panjang, sehingga  harus   menunggu sampai parpol benar-benar siap menjalankan demokrasi substantive di tengah negara  membutuhkan pemimpin yang kuat dan itu tidak harus militer.
Sementara itu Sekretaris Kelompok DPD MPR RI Muhammad Asri Anas menegaskan,    partai politik   gagal melakukan proses kaderisasi, sehingga calon kepala daerah yang diusung    bukan kader   terbaik, tapi calon   berduit. Bahkan pengurus partai di daerah bisa dikalahkan orang lain   karena tidak mempunyai uang. Masih ada mahar kepada parpol, Komisi Pemilihan Umum (KPU)  mengakomodir dukungan dua partai   konflik, dan politik uang lain, sehingga          hasil Pilkada  dipastikan buruk.
 “Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata masih gagal melahirkan kader  terbaik, sehingga memilih calon lain yang  berduit. Bahkan untuk menggolkan bakal calon kepala daerah, dilakukan dengan voting dan  diperkuat   KPU. Padahal, itu masalah administrasi, maka dalam Pilkada serentak   harus membenahi Parpol dan KPU terlebih dahulu. Kalau tidak, hasil pilkada serentak   amburadul,” tegas anggota DPD RI dari daerah Sulawesi Barat itu.
Menurut Asri Anas, ada Ketua DPD Partai, gagal menjadi calon kepala daerah, meski yang bersangkutan    memenangkan dalam Pemilu 2014. “Anehnya banyak di antara mereka   dimintai uang oleh partai sendiri dan jika tidak sanggup,   yang diusung   orang lain yang bukan kader, karena   mempunyai uang,” ujarnya.
 Karena itu kata Asri Anas,  sekarang  saatnya  Presiden Jokowi menegakkan revolusi mental dan Nawacita – nya untuk   menghasilkan pemimpin daerah ideal, sesuai kehendak rakyat dan mampu mensejahterakan rakyat.”Tak cukup calon pemimpin daerah   hanya melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK. Kalau begini, Pilkada yang menjadi pesta biasa-biasa saja bagi rakyat, tanpa perbaikan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya,” tambahnya.
 UU otonomi daerah menurut Asri Anas, juga tidak menjadi pemikiran mendalam bagi kepala daerah untuk memajukan dan mensejahterakan daerah. Padahal, pilkada langsung   diharapkan melahirkan pemimpin,  bukan penguasa. “Pemimpin   pasti berkomitmen   memajukan dan mensejahterakan daerah, dan itu jantungnya   di parpol. Karena itu, parpol harus direformasi,” paparnya. duk


Leave a Reply