- September 8, 2015
- Posted by: admin
- Category: Berita
No Comments
Jakarta,BP
Ketua Dewan Pers Bagir Manan menegaskan, pemelintiran berita oleh wartawan jelas pelanggaran kode etik karena memberitakan dari sumber berita yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan.
“Sebagai pekerja profesional, seharusnya wartawan bekerja atas dasar tanggung jawab pribadi. Seperti dokter dan pengacara. Bukan tanggung jawab kelembagaan.Wartawan bekerja atas dasar kebenaran, yakni berusaha menemukan dan menegakkan kebenaran. Jika pekerjaan non profesi, perilakunya bisa benar secara hukum, tapi belum tentu benar secara tanggung jawab pribadi,” tegas Baqir Manan di Ruangan Wartawan DPR RI Jakarta, Senin (7/9).
Menurut Bagir, kode etik, bukan hukum tapi sebagai aturan tingkah-laku yang berisi tentang kewajiban kita terutama dalam pekerjaan professional. Kode etik sebagai mahkota yang harus dipegang teguh agar profesional dalam menjalankan tugas.
Dikatakan, profesi wartawan bekerja atas dasar kepercayaan baik individual maupun komunitas wartawan. Bekerja atas kepercayaan masyarakat dan itu menjadi kelangsungan kerja. “Jadi, wartawan bertanggung jawab pribadi, juga advokat, dokter dan lain-lain. Wartawan bekerja atas apa yang ditulis,” jelasnya.
Karena itu lanjut Bagir, wartawan harus dipercaya, jujur, berpegang teguh pada kebenaran, dan selalu menjunjung tinggi keagunagan, integritas sebagai upaya terbaik untuk menghasilkan yang terbaik, dan mencapai yang terbaik.
“Wartawan harus terus belajar meningkatkan keterampilan, karena profesi itu tak saja berdasarkan pengetahuan di bidang tertentu, tapi cukup memiliki pengetahuan yang cukup sebagai insan pers.
Bagir menambahkan, pemelintiran berita bisa dilakukan dengan sengaja, bisa terdorong sikap partisan, keberpihakan itu sangat menentukan suatu berita, karena sudah apriori pada sesuatu, bisa terdorong oleh kebencian, tidak suka, sehingga ingin merendahkan martabat sumber berita, dan kelompok tertentu, ada dorongan politisasi yang menonjol seperti kasus Kabareskrim Budi Waseso, bertujuan untuk mengaburkan esensi persoalan, bisa motif ekonomi, ingin memperoleh manfaat dari berita semacam itu.
Jadi, kata dia, memlintir berita politik, bukan brita secara jurnalistik tapi opini, mencampuradukkan berita dan opini. Itu tidak professional, melainkan sebagai penyalahgunaan profesi.
Dia minta wartawan hati-hati. Tak perlu UU yang banyak, kita hormati UU yang ada wartawan di era demokrasi harus bebas bertanggungjawab. “Media online pun harus memiliki badan hukum, kalau tidak, konsekuensinya tak ada perlindungan pers,” paparnya.
Sementara itu anggota Komisi IX DPR RI FPDIP Rieke Diah Pitaloka menegaskan, pemelintiran berita Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputriv mungkin dianggap remeh, sepele, dan cukup dengan meminta maaf, padahal keputusan politik nasional terkait pembubaran lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pasti serius. Namun, hal itu lumrah, karena banyak faktor yang menjadikan wartawan memelintir berita. Misalnya ada yang kejar setoran, terlalu capek, dan ada yang berkepentingan politik.
“Saat ini tanggung jawab dan tuntutan wartawan sangat berat. Di sisi lain ada pertimbangan kemanusiaan pada wartawan untuk mendapat perlindungan menjalankan tugas dan kewajibannya, dan DPR RI akan terus memperjuangkan,” tegas Rieke.
Menurut Rieke, kualitas liputan wartawan yang sering dikeluhkan berbagai kalangan, seperti berita tidak akurat atau tidak seimbang, disebabkan berbagai hal. Salah satu tuntutan kerja jurnalis yang semakin berat. Untuk itu, negara perlu memiliki undang-undang untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan wartawan. “DPR sedang memperjuangkan RUU Perlindungan Pekerja Media masuk ke dalam Prolegnas 2016. Saat menyusun Prolegnas 2015, kami tidak mendapat dukungan yang cukup sehingga belum berhasil,” papar Rieke. duk