PLN Diminta Transparan Soal Token

AHMAD MAWARDIJakarta,BP-Wakil Ketua Komite II DPD RI Ahmad Nawardi meminta PT. PLN (Perusahaan  Listrik Negara) transparan soal pembayaran listrik, baik   meteran maupun voucher token. Selama ini rakyat tidak tahu rincian     biaya yang dibayarkan kepada PLN setiap bulan. Berapa   untuk biaya administrasi, bank, provider, penerangan jalan dan KWH itu sendiri. Kecurigaan pada PLN hanya bisa dijawab dengan transparansi pembayaran.

“Masyarakat harus diberi pilihan.  Mau listrik yang menggunakan meteran atau token. Yang penting rincian pembayaran transparan. Karena  sampai hari ini masyarakat tidak tahu rincian pembayaran dari struk yang diterima dari PLN, dari bank, supermarket, atau counter  pembayaran lain,” tegas Nawardi di Ruangan Watawan DPR RI, Jakarta, Rabu  Rabu (16/9).
Menurut Nawardi, sistem pembelian listrik token tersebut bukan ide  Dahlan Iskan mantan Dirut PLN, melainkan mantan Dirut PLN  sebelumnya   Eddie Widiono yang  terkesan masyarakat dipaksa  menggunakan sistem token.
“Harusnya PLN memberikan pilihan, mau pilih token atau meteran. Apalagi jumlah rakyat miskin  bertambah. Di Jawa Timur saja jumlah orang miskin  bertambah 0,6 %. Itu artinya daya beli masyarakat turun, maka PLN harus   mengevaluasi tarif listrik yang  tidak menyulitkan masyarakat dan  sesuai   UU Nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan,” ujar senator dari Jawa Timur itu.
Untuk penjualan token kata Nawardi, PLN  sebaiknya  tidak  hanya kerjasama dengan supermarket, Indomaret, namun melibatkan  koperasi di desa atau BUMDes.
Dikatakan  Nawardi, pihaknya  menolak jika ada ide swastanisasi PLN, karena  soal listrik menyangkut hajat hidup rakyat banyak yang harus dikuasai  serta dikelola negara . Sekarang   Madura telah mensubsidi PLN di Jawa Timur   60 %, tapi di Madura  banyak yang tidak menikmati listrik dan  masih menggunakan genset. “Jadi, PLN   harus dievaluasi,” tutur dia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI FPG Satya Widya Yudha menegaskan,  voucher token  semula untuk mempermudah dan mengatur kemampuan masyarakat menggunakan listrik, namun dalam perjalanannya masih yanyak kelemahan. Tapi, pengelolaan PLN   belum sampai pada tingkat liberal,   masih ada subsidi untuk rakyat.
“Masyarakat tidak tahu untuk apa saja  tagihan listrik melalui voucer token itu.  Bila membeli voucer Rp 100 ribu tapi   yang digunakan hsnys  Rp 70 ribu. Nah, yang Rp 30 ribu itu untuk apa saja. Itu yang belum terjawab,” kata politisi Golkar itu.
Kalau pembayaran   bisa dirinci dengan transparan, lanjut Satya, masyarakat bisa menerima, akan tetapi      PLN  masih melakukan subsidi.
“Kecuali  tidak ada lagi yang menggunakan 400 – 900 KWh. Semua disamaratakan menjadi 1352 KWh, berarti tidak ada subsidi. Selama ada subsidi berarti belum melanggar konstitusi,” pungkasnya.
Pengamat Politik ekonomi, Ichsanuddin Noersy menilai pembayaran listrik yang mahal tersebut antara lain disebabkan oleh monetisasi, rente, pembayaran melalui perbankan, dan  pakai kartu. Kalau kerjasama dengan asing, kartu-nya kemungkinan besar dari luar negeri. Sama  dengan kartu ATM Mastercard, atau  Visa  sehingga  perlu diperiksa petinggi PLN.
“Sistem pembayaran melalui  perbankan dan jaringan internet  menyebabkan   pembayaran listrik   mahal. Kalau semua 1353 KWh, sementara biaya pembangkit berbeda-beda antara panas bumi, batubara dan gas,   maka harga itu seharusnya logis. Apalagi PLN itu milik BUMN dan pemegang saham adalah rakyat,” tegas Ichsanuddin.
Ichsan   menyatakan   BUMN selama ini menjadi sapi perahan melalui anak-anak perusahaan, dan sistim voucer token   bagian dari industri keuangan dari kota sampai  desa.   Untuk itu sistem token tak bisa dihapus karena sudah menjadi bagian dari industri keuangan. Yang perlu diperbaiki adalah mental dan birokrasi BUMN.
Soal swastanisasi PLN,  Ichsanuddin   menolak   karena  negara tak akan mampu mengendalikan harga listrik. duk


Leave a Reply