- September 17, 2015
- Posted by: admin
- Category: Berita
No Comments
Jakarta,BP-Wakil Ketua Komite II DPD RI Ahmad Nawardi meminta PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara) transparan soal pembayaran listrik, baik meteran maupun voucher token. Selama ini rakyat tidak tahu rincian biaya yang dibayarkan kepada PLN setiap bulan. Berapa untuk biaya administrasi, bank, provider, penerangan jalan dan KWH itu sendiri. Kecurigaan pada PLN hanya bisa dijawab dengan transparansi pembayaran.
“Masyarakat harus diberi pilihan. Mau listrik yang menggunakan meteran atau token. Yang penting rincian pembayaran transparan. Karena sampai hari ini masyarakat tidak tahu rincian pembayaran dari struk yang diterima dari PLN, dari bank, supermarket, atau counter pembayaran lain,” tegas Nawardi di Ruangan Watawan DPR RI, Jakarta, Rabu Rabu (16/9).
Menurut Nawardi, sistem pembelian listrik token tersebut bukan ide Dahlan Iskan mantan Dirut PLN, melainkan mantan Dirut PLN sebelumnya Eddie Widiono yang terkesan masyarakat dipaksa menggunakan sistem token.
“Harusnya PLN memberikan pilihan, mau pilih token atau meteran. Apalagi jumlah rakyat miskin bertambah. Di Jawa Timur saja jumlah orang miskin bertambah 0,6 %. Itu artinya daya beli masyarakat turun, maka PLN harus mengevaluasi tarif listrik yang tidak menyulitkan masyarakat dan sesuai UU Nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan,” ujar senator dari Jawa Timur itu.
Untuk penjualan token kata Nawardi, PLN sebaiknya tidak hanya kerjasama dengan supermarket, Indomaret, namun melibatkan koperasi di desa atau BUMDes.
Dikatakan Nawardi, pihaknya menolak jika ada ide swastanisasi PLN, karena soal listrik menyangkut hajat hidup rakyat banyak yang harus dikuasai serta dikelola negara . Sekarang Madura telah mensubsidi PLN di Jawa Timur 60 %, tapi di Madura banyak yang tidak menikmati listrik dan masih menggunakan genset. “Jadi, PLN harus dievaluasi,” tutur dia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI FPG Satya Widya Yudha menegaskan, voucher token semula untuk mempermudah dan mengatur kemampuan masyarakat menggunakan listrik, namun dalam perjalanannya masih yanyak kelemahan. Tapi, pengelolaan PLN belum sampai pada tingkat liberal, masih ada subsidi untuk rakyat.
“Masyarakat tidak tahu untuk apa saja tagihan listrik melalui voucer token itu. Bila membeli voucer Rp 100 ribu tapi yang digunakan hsnys Rp 70 ribu. Nah, yang Rp 30 ribu itu untuk apa saja. Itu yang belum terjawab,” kata politisi Golkar itu.
Kalau pembayaran bisa dirinci dengan transparan, lanjut Satya, masyarakat bisa menerima, akan tetapi PLN masih melakukan subsidi.
“Kecuali tidak ada lagi yang menggunakan 400 – 900 KWh. Semua disamaratakan menjadi 1352 KWh, berarti tidak ada subsidi. Selama ada subsidi berarti belum melanggar konstitusi,” pungkasnya.
Pengamat Politik ekonomi, Ichsanuddin Noersy menilai pembayaran listrik yang mahal tersebut antara lain disebabkan oleh monetisasi, rente, pembayaran melalui perbankan, dan pakai kartu. Kalau kerjasama dengan asing, kartu-nya kemungkinan besar dari luar negeri. Sama dengan kartu ATM Mastercard, atau Visa sehingga perlu diperiksa petinggi PLN.
“Sistem pembayaran melalui perbankan dan jaringan internet menyebabkan pembayaran listrik mahal. Kalau semua 1353 KWh, sementara biaya pembangkit berbeda-beda antara panas bumi, batubara dan gas, maka harga itu seharusnya logis. Apalagi PLN itu milik BUMN dan pemegang saham adalah rakyat,” tegas Ichsanuddin.
Ichsan menyatakan BUMN selama ini menjadi sapi perahan melalui anak-anak perusahaan, dan sistim voucer token bagian dari industri keuangan dari kota sampai desa. Untuk itu sistem token tak bisa dihapus karena sudah menjadi bagian dari industri keuangan. Yang perlu diperbaiki adalah mental dan birokrasi BUMN.
Soal swastanisasi PLN, Ichsanuddin menolak karena negara tak akan mampu mengendalikan harga listrik. duk