- December 23, 2015
- Posted by: admin
- Category: Berita
Jakarta – Pemerintah Indonesia dengan berbagai lembaga terkait yang ada harus melakukan tindakan tegas dan melakukan identifikasi secara cermat bagi para Warga Negara Indonesia (WNI) yang baru pulang dari Suriah atau yang dideportasi dari Malaysia. Upaya itu harus dilakukan demi untuk mengantisipasi penyebaran paham kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS.
“ISIS ini identik dengan ideologi yang tidak dikehendaki di Indonesia. Apapun alasannya, meski belum ada Undang-Undang (UU) yang mengatur masalah itu, pemerintah Indonesia harus cepat bertindak dan penegak hukum benar-benar harus tegas bahwa mereka harus diidentifikasi,” ujar pakar hukum Dr. Suhardi Somomuljono SH, MH di Jakarta, Selasa (22/12/2015).
Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir ramai dikabarkan adanya deportasi ratusan WNI dari Malaysia. Mereka dipulangkan dengan dalih sebagai TKI ilegal karena tidak memiliki paspor dan izin kerja. Disinyalir para WNI yang tidak memiliki paspor itu adalah adalah simpatisan atau WNI yang baru pulang setelah bergabung dengan ISIS di Suriah. Mereka sengaja pulang lewat Malaysia dan menyamarkan identitasnya dengan membuang paspor.
“Tidak penting punya atau idak paspor. Kalau pemerintah punya bukti yang lain (tidak harus paspopr) bahwa ia pernah tinggal di Suriah, mereka harus diidentifikasi betul dan diawasi secara ketat. Soalnya ideologi ini sangat keras dan tidak dikhendaki di Indonesia. Jadi harus tegas-tegas melakukan identifikasinya. Seluruh penegak hukum harus berkoordinasi untuk melakukan ini, tidak terkecuali kepolisian, bnpt, BIN, apalagi bagian imigrasi,” papar Suhardi.
Menurut Dr Suhardi, sudah tidak waktu lagi bagi pemerintah Indonesia untuk bersikap lunak terhadap ISIS. Pasalnya tindakan ISIS ini di seluruh dunia ini sudah menjadi ancaman nyata, bukan mimpi atau konspirasi. Yang pasti, paham ISIS adalah bentuk kekerasan yang tidak dikehendaki oleh seluruh umat manusia.
“Resikonya sangat berat kalau tidak terus diam. Apakah kita ingin seperti Suriah? Tentu tidak. Jadi pemerintah dan rakyat Indonesia harus segera melakukan tindakan nyata terhadap simpatisan apalagi orang yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah. Jelas mereka adalah kelompok teroris,” tukas Suhardi.
Suhardi mengungkapkan, potensi para pengikut ISIS ini sangat berbahaya bila bisa lepas begitu saja di masyarakat. Untuk itu, identifikasi dan pembinaan wajib dilakukan karena mereka ini belum dihukum oleh pengadilan yang memiliki keputusan hukum tetap. Tapi bila mereka sudah teridentifikasi dan punya potensi ISIS, tidak ada alasan tidak memantau pergerakan mereka.
“Dengan cara apapun harus dipantau. Tinggalnya dimana harus jelas, siapa orang ini, dan tentunya mereka harus punya memori atau dokumen imigrasi. Ini tidak bisa tidak, karena kalau mereka tidak memiliki tentu sudah melanggar UU Imigrasi,” jelas mantan ketua tim penasehat hukum Pilot Garuda Indonesia tersangka kasus pembunuhan aktivias HAM, Munir ini.
Suhari menegaskan, memang sejauh ini masih ada pro dan kontra terkait tindakan yang harus dilakuan negara terhadap ISIS dan pendukungnya. Tapi ia mengatakan bahwa negara punya hak yang disebut hak deskrisioner dalam kerangka penegakan hukum yang bersifat antisipasi, untuk melakukan tindakan ini. Hak itu tentu saja harus digunakan para penegak hukum agar tidak kecolongan masuknya pengikut-pengikut ISIS kembali ke Indonesia, yang bisa mencoreng citra Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak tapi Islam yang damai dan Islam yang rahmatan lil alamin.
“Indonesia sudah menjadi idola bangsa-bangsa di dunia bahwa Islam Indonesia itu adalah islam damai, Islam rahmatan lil alamin. Jangan sampai dikotori oleh ISIS. Apalagi dari seluruh negara Islam di muka bumi, Indonesia adalah negara dengan pengikut ISIS paling sedikit. Jangan diperbanyak lagi ISIS di sini, kalau bisa dikurangi dan dihabisi,” pungkas Dr Suhardi. (Iman/Trijaya)