Buaya Air Laut Itu Atraksi Carribia

indexJakarta, BP-Tenaga Ahli Underwater Tourism Kemenpar, Cipto Aji Gunawan punya kesan dengan Jardines de la Reina Marine Park, Carribia. Mereka justru menual buaya laut yang dikenal dengan American Salt Water Crocodile sebagai salah satu atraksi, atau daya tarik wisatawan selam. “Atraksinya, menyelam bersama buaya di dalam laut,” kata Cipto AG, di Jakarta.
Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Platinum Pro 5000 Diver, World Most Elite Water Explorer di DEMA –Diving Equipment and Marketing Association—Show, Las Vegas 2010 itu menyebut, buaya air laut itu berbeda dengan buaya tawar. Sama dengan Shark Point, atau dive site yang banyak di ikan-ikan hiu dengan semua jenis. “Justru di situlah letak daya tarik yang luar biasa. Itu yang dicari para diver professional dunia,” jelas Cipto.
Menurut pria yang tahun 1997, kali pertama menggelar Program PADI Instructor Development di Indonesia itu, hiu dan buaya itu hanya menyerang dalam kondisi tertentu. Misalnya, diver dikira makanan, biasanya di daerah di mana ekosistemnya terganggu. Atau ada tindakan yang mirip dengan makanan alami si predator itu. “Misalnya, surfer yang sedang berenang di permukaan, yang terlihat seperti penyu di air. Alasan lain adalah, self defence, hiu dan buaya itu merasa terserang dan melawan untuk menjaga diri,” ungkapnya.
Bagaimana dengan kabar turis asal Rusia, Sergey Lykhvar (37) yang diserang buaya saat menyelam di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, Selasa 29 Maret 2016 lalu? Tim Crisis Center Kemenpar memang langsung melakukan penelisikan, kronologi peristiwa tersebut, karena dikhawatirkan akan mengganggu image Raja Ampat sebagai destinasi high end di Papua.
Hobi Lykhvar memang diving. Dia tinggal di Kolomna, Moskow. Sebelum datang ke Indonesia, dia memutuskan berhenti bekerja dan selanjutnya mengunjungi sejumlah tempat menarik di Indonesia, termasuk di Bali sebelum ke Raja Ampat. Menurut Kepala Dinas pariwisata Raja Ampat, Yusdi, Lykhyar telah tinggal di pemukiman penduduk sejak 1 bulan sebelumnya.
Kejadiannya 29 Maret 2016 itu, adalah hari tarakhir paket wisata yang dia ikuti di wilayah ini. Seharusnya Lykhyar sudah bersiap-siap dan berkemas untuk perjalanan berikutnya, yakni ke Sorong sebelum kembali ke Rusia. Mungkin karena dianggap sebagai hari terakhir, Lykhvar ngotot untuk snorkeling sendiri. Dia memilih sendiri di bagian selatan pulau Manyaifuin, sementara lokasi homestaynya di perkampungan bagain utara pulau. Beberapa guide sempat mencegah niat turis Rusia itu.
Diam-diam, Lykhvar berangkat sendiri ke lokasi. Setelah ditunggu sampai 24 jam tidak kembali, akhirnya dilaporkan ke Polisi, SAR dan Pemda. Mereka menyatakan Lykhyar hllang, lalu dilakukan pencarian. Dua hari hilang, Lykhyar ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Lokasi jasad Lykhvar ditemukan jauh terpencil dan berbahaya, karena arusnya deras dan banyak karang yang tajam.
Dari hasil visum dokter di RSUD Raja Ampat, diduga kuat korban tewas akibat diserang buaya. Jasad Lykhvar telah dibawa ke Sorong, yang berjarak 2 jam perjalanan dengan kapal dari Raja Ampat. Sesuai permintaan keluarga, jasadnya dikremasi. Kasus ini sudah diinfokan ke pihak Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia. Mereka juga sudah mengabarkan berita duka ini kepada keluarga Lykhvar di Moskow. Dalam waktu dekat, abunya akan diberangkatkan ke Rusia.
Cipto AG bersimpati atas korban Lykhvar dari Rusia itu. Kemenpar ikut bela sungkawa atas peristiwa itu, semoga itu kejadian yang terakhir, tragedi dengan binatang predator. “Kami menaruh simpati dan turut berduka atas peristiwa itu,” katanya.
“Intinya, semua aktivitas wisata alam itu memiliki risiko. Namun bila dilakukan dengan mengikuti kaidah keselamatan maka, risiko itu bisa diminimalisir. Ada prosedur manajemen risiko yang harus ditempuh,” jelas Cipto yang pernah mendapat penghargaan Dive Trend Asia 2012 itu.
“Jika mengikuti aturan dan prosedur yang dipandu oleh tour guide atau dive master-nya, saya yakin hal seperti ini tidak perlu terjadi. Tetapi kalau jalan sendiri, apalagi sembunyi-sembunyi, ya memang bisa fatal. Di kalangan diver, peristiwa Raja Ampat ini bisa diterima sebagai “kelalaian individu”. Lokasinya jauh dari tempat yang direkomendasi untuk diving dan snorkeling,” ungkap Cipto.
Sama halnya dengan Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Jika wisatawan mengikuti aturan main yang sudah ada, maka semuanya aman-aman saja. Tetapi kalau sengaja berpetualang sendiri, tanpa “pawing”-nya, itu akan merugikan keselamatan diri sendiri dan orang lain. “Jadi, Raja Ampat sangat aman,” jelas Cipto, seorang Konseptor “Klasifikasi Titik Selam” pertama di dunia.
Kecelakaan seperti ini bisa saja terjadi di mana saja, kapan saja, dengan objek wisata model apa saja. Kebetulan saja ini menimpa Gugusan kepulauan Raja Ampat di Papua Barat yang sudah mahsyur di kalangan divers dunia. Peristiwa ini memang sempat mengganggu “nyali” orang untuk datang ke sana. “Tetapi itu tidak perlu waswas, asal prosedur diving dipenuhi dengan baik,” kata penggiat ecotourism ini.(*)



Leave a Reply