- May 26, 2016
- Posted by: admin
- Category: Berita
No Comments
Jakarta, BP-Perkembangan jasa konstruksi makin banyak seiring dengan pembangunan infrastruktur, sehingga Rancangan Undang-Undang (RUU) Jasa Konstruksi akan disahkan Juni 2016. RUU Jasa Konstruksi juga untuk menghindari kriminalisasi jasa konstruksi, karena UU No.18 tahun 1999 belum bisa memenuhi penyelenggaraan dan usaha Jasa Konstruksi.
“Ada tigal hal penting dalam RUU Jasa Konstruksi. Badan Sertifikasi, kriminalisasi dan Usaha Jasa Konstruksi. RUU ini terdiri dari 114 Bab dan 900-an daftar inventarisasi masalah (DIM),” ujar anggota Panja RUU Jasa Konstruksi Mohammad Nizar Zahro di ruangan wartawan DPR RI Jakarta, Selasa (24/5).
Menurut Mohamad Nizar Zahro, sertifikasi sangat penting, karena jika hanya model registrasi tidak terkontrol dengan baik. Sedangkan sertifikasi bisa dilakukan dengan nilai-nilai atau imbalan tertentu.
”Sertifikasi tanpa lambang Garuda pun ditolak Singapura, Malaysia dan negara lain. Di Timur Tengah banyak konraktor dari Indonesia, tapi ketika terjadi masalah, Paspor Indonesia dipakai. Itu tidak bisa dibiarkan,” kata Zahro.
Sedangkan kriminalisasi jasa konstruksi menurut Nizar Zahro, sering terjadi masalah antara pengusaha di pusat sampai daerah dengan pejabat yang berakhir di pengadilan. Sebab, dalam kontrak kerja hanya foto kopi, sehingga aparat kepolisian dan kejaksaan banyak terlibat. “Kalau perjanjian kontrak itu perdata, ya perdata. Jangan dibawa ke pidana. Sehingga diperlukan Badan Jasa Konstruksi (BSJK),” tuturnya.
Direktur Lembaga Sumber Daya dan Jasa Konstruksi KemenPU dan PR Yayat Supriyatna menyatakan, pemerintah mengapresiasi RUU ini karena banyak perbaikan mendasar dari UU No.18 tahun 1999 seperti masalah asosiasi. “Kekuatan dari industri itu ada di asosiasi itu sendiri,” kata Yayat Supriyatna.
Karena itu kata Yayat, RUU ini harus mampu meningkatkan nilai tambah berkelanjutan, daya saing, dan jangan hanya fokus kepada masalah hukum. “Kasus kriminalisasi jasa konstruksi terjadi kalau ada pengaduan kerugian dari konstruksi. Kalau dianggap pidana, hal itu harus dibuktikan dulu oleh aparatur negara (BPK, KPK) dan pengadilan,” jelas Yayat.
Ditambahkan Yayat, UU ini melindungi jasa profesional dan dipertanggungjawabkan, karena mempunyai keahlian tertentu. Untuk itu diperlukan sertifikasi melalui Badan Sertifikasi independen daripada dilakukan pemerintah. Hanya saja dalam badan itu terdiri dari berbagai unsur asosiasi, masyarakat dan pemerintah.
Soal standar konstruksi, menurut Yayat, kalau Indoensia kerjasama dengan Amerika Serikat, maka kesepakatan dengan Amerika, kalau dengan British kesepakatan dengan British, dan sama dengan BSN (Badan Standarisasi Nasional). “BSN itu termasuk perjanjian kontrak,” ungkapnya.
Mantan Ketua Umum HAKI Dradjat Hoedajanto mngakui konsep UU No. 18 tahun 1999 untuk mendongkrak jasa konstruksi Indonesia di tingkat Asean. Sertifikasi hanya untuk ahli, sedangkan bagi yang belum ahli magang dulu. Tukang kita banyak bekerja di luar negeri karena gaji lebih besar, kecuali kalau reward dan punishment sama atau lebih besar, mereka akan kembali ke Indonesia. “Kalau tunjangan besar, tapi gaji kecil, sulit menjadi professional. Jadi, perlu kerjasama semua pihak. Kalau tidak, apapun UU-nya tak akan berjalan dengan baik,” tutur Dradjat. #duk