- June 14, 2016
- Posted by: admin
- Category: Berita
Palembang, BP-Satuan Tugas (Satgas) penanggulangan bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melakukan teknik modifikasi cuaca (TMC) hujan buatan untuk mencegah timbulnya titik api (hot spot) di wilayah Sumatera Selatan mulai Senin (13/6) kemarin. Gejala gangguan iklim La Nina yang tengah melanda Indonesia dan sekitarnya, diyakini dapat membantu operasi TMC lebih efektif.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof Ir Wimpie A N A mengatakan, pihaknya akan menaburkan empat ton garam NaCl setiap harinya menggunakan dua unit pesawat CASA yang terdiri dari satu unit pesawat dengan nomor registrasi PK-PCT PT Pelita Air Service dan satu unit pesawat TNI AU Skuadron 4 Malang.
Untuk tahap awal operasi, pihaknya telah menyiapkan 20 ton garam yang tersedia di posko. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan di lapangan.
“Saat ini pesawat baru ada satu PK-PCT. Pesawat TNI AU akan datang dalam waktu dekat. Satu pesawat sanggup terbang dua kali sehari dengan satu kali penerbangan mampu menaburkan satu ton garam,” tuturnya usai Pembukaan TMC penanggulangan kabut asap di Posko TMC Lanud Palembang.
Dirinya menuturkan, operasi TMC yang digelar tahun ini sedikit berbeda dan merupakan pengembangan dari operasi tahun lalu. Tahun ini, ujarnya, mitigasi bencana dilakukan lebih awal dan lebih terintegrasi dengan sistem monitoring lapangan.
Untuk mengukur keberhasilan TMC, selain dilakukan monitoring hujang di daerah yang ditabur NaCl, BPPT pun memasang peralatan sistem monitoring yang mengukur kelembapan atau kandungan air pada level kedalaman lahan gambut.
“Minimal kandungan air ada pada gambut 20 sentimeter dari permukaan tanah. Peralatan monitoring ditempatkan di wilayah yang didominasi gambut seperti Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin. Sistem monitoring dapat dipantau secara online dari Posko TMC di Lanud Palembang maupun dari Kantor BPPT di Jakarta,” jelasnya.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Agus Santosa mengatakan, tahun ini tengah terjadi gejala gangguan iklim La Nina di Indonesia yang merupakan kebalikannya dari El Nino yang terjadi tahun lalu.
Agus menjelaskan, La Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya.
“Akibatnya, hujan turun lebih banyak di Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia, sedangkan di timur Samudera Pasifik sangat kering,” jelasnya.
Pada kondisi yang ekstrem, Agus mengungkapkan, La Nina menyebabkan hujan yang terjadi terus menerus. Luapan air sungai berpotensi menjadi banjir seperti yang terjadi pada awal tahun ini di beberapa wilayah Indonesia termasuk di Sumsel.
“Namun dampak baiknya, musim kemarau tahun ini tidak akan terlalu kering. Lebih banyak hujan yang akan turun pada musim kemarau basah. Curah hujannya pun dapat mencapai 50 milimeter per bulan,” ujarnya.
Dengan adanya potensi pembentukan awan penghujan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi normal, hal ini akan sangat membantu operasi TMC yang sangat tergantung pada awan penghujan (cumulus). Hujan buatan akan lebih efektif dan berhasil lebih banyak untuk menjaga permukaan tanah lebih dingin dan mencegah terjadinya titik api.
Sejak akhir Mei lalu, Indonesia telah memasuki musim kemarau. Meski begitu, hujan ringan dan lebat masih terjadi di beberapa titik dan tidak merata dengan kelembapan rata-rata masih di atas 57 persen.
“Periode Juni-Juli Agustus ini puncak kekeringannya. Namun dari prakira masih akan ada hujan ringan. Mudah-mudahan dengan terjadinya La Nina ini hujan terus membasahi titik api agar tidak membesar,” ujarnya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumsel Yulizar Dinoto mengatakan,
Satu minggu belakangan ini, karhutla sudah terjadi di Sumsel. Ada beberapa titik karhutla tersebut yakni salah satunya di Muara Medak, Musi Banyuasin. Muara Medak merupakan wilayah yang paling parah terdampak karhutla beberapa tahun belakang.
Adanya kebakaran di kawasan hutan Muara Medak sudah langsung dipadamkan oleh tim pemadam karhutla udara dengan menggunakan dua unit helikopter MI-8 berkapasitas 5.000 liter air dalam satu kali waterbombing.
“Sekarang kebakaran di hutan itu sudah padam. Sebagai bentuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan, BNPB akan mengirimkan kembali satu unit pesawat hercules dengan kapasitas 4.000 liter air dalam satu kali waterbombing,” tuturnya.
Sementara itu, pihaknya juga sudah menerima satu unit pesawat Cassa 212 yang digunakan untuk teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau hujan buatan. Ini dikarenakan saat ini sudah masuk musim kemarau dan curah hujan pun berkurang.
“Alat TMC ini diharapkan dapat memaksimalkan potensi hujan yang ada di Sumatra Selatan. Khususnya di Musi Banyuasin, Palembang, OKI, Ogan Ilir dan sekitarnya yang sudah masuk musim kemarau,” ungkap Yulizar.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Selatan Sigit Wibowo mengatakan, Muara Medak merupakan kawasan hutan produksi dimana daerah tersebut open akses dari mana dan ke mana saja. Juga ada sebagian di areal konsensi perusahaan. Dirinya menuturkan, pen akses itu tidak membebani pihak perusahaan manapun, artinya jika terjadi kebakaran di lokasi tersebut maka tanggungjawab penuh kembali ke pemerintah daerah.
“Kebakaran di area ini memang tidak luas, tapi kita tak mau terus meluas. Jadi tim penanggulangan bencana langsung diterjunkan ke lokasi tersebut. Berdasarkan pengamatan kita, kebakaran di hutan ini karena adanya aktivitas ilegal logging,” terang dia.
Sigit menuturkan, dari patroli yang dilakukan tercatat masih banyak potensi karhutla di Sumsel, khususnya Musi Banyuasin. Masih banyak material eks-kebakaran hutan dan lahan ditahun lalu yang belum habis terbakar seperti ranting dan dahan yang telah menjadi arang, akan sangat mudah terbakar apabila kering.
“Yang terpantau rawan terjadi kebakaran adalah kawasan hutan di Merang Kepayang. Ditambah lagi kawasan-kawasan ini berada diatas lahan gambut,” tambahnya.