- January 2, 2019
- Posted by: admin
- Category: Berita

Kairo– Pengadilan tinggi Mesir mengukuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap pegiat hak perempuan Amal Fathy, yang mengkritik pemerintah karena tak menangani pelecehan seksual.

Fathy didakwa karena menyebarkan hoax pada bulan Mei lalu setelah mengunggah video yang berisi pengalamannya sendiri.
Ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun pada September lalu namun hukuman ditunda menunggu banding pengadilan tinggi.
Keputusan pengadilan tinggi muncul beberapa hari setelah Aman dibebaskan dengan jaminan terkait kasus lain.
Suaminya, Mohamed Lotfi, kepala badan Hak dan Kebebasan Mesir mengatakan Amal dapat ditahan lagi “kapan pun”.
Amal Fathy, ibu beranak satu yang berumur 34 tahun, adalah mantan aktivis, yang berada di garis depan pada kerusuhan menentang Presiden Hosni Mubarak pada 6 April 2011.
Ia ditahan di Kairo, dua hari setelah mengunggah video berdurasi 12 menit di Facebook, berisi pengalamannya menghadapi pelecehan seksual dua kali dalam satu hari.
Ia mengecam pemerintah karena tidak melindungi perempuan.
Hoax untuk menekan penentang

Pegiat HAM mengupayakan dibebaskannya Amal Fathy. (Getty Images)
Amal juga mengkritik memburuknya perlindungan hak asasi, kondisi sosial ekonomi dan fasilitas umum.
Ia dihukum empat bulan kemudian karena “menyebarkan hoax yang membahayakan keamanan nasional.”
Hakim menjatuhi hukuman dua tahun penjara dan pelaksanaan ditunda menunggu banding. Ia juga harus membayar uang jaminan dan denda.
Walaupun telah membayar uang jaminan dan denda, Amal tetap ditahan karena menghadapi dakwaan lain termasuk “anggota satu kelompok teroris.”
Suaminya mengatakan mereka tidak mengetahui dakwaan terpisah itu.
Tetapi pekan lalu, aktivis perempuan itu dibebaskan setelah hakim menerima bandingnya terkait dakwaan terorisme.
Namun pengadilan banding mengukuhkan hukuman dua tahun karena menyebar hoax, keputusan yang menurut organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, “sangat tak adil.”
Pengguna media sosial dengan pengikut lebih 5.000 diawasi
“Fakta bahwa seorang korban pelecehan seksual dihukum dua tahun penjara karena menyebarkan pengalaman dia, sangat memalukan,” kata Najia Bounaim, Direktur Amnesty untuk Afrika Utara.
Para pengamat mengatakan hoax dijadikan senjata oleh pemerintah untuk menekan para penentang.
Mesir baru-baru ini meloloskan undang-undang berisi pengetatan internet, langkah yang banyak dikecam para aktivis HAM.
Dengan adanya peraturan tentang “kejahatan siber” maka suatu situs dapat diblok di Mesir bila dianggap sebagai ancaman keamanan nasional atau ekonomi.
Peraturan itu juga menetapkan bahwa pengguna media sosial dengan lebih dari 5.000 pengikut harus diawasi.
Pemerintah Mesir mengatakan langkah itu diperlukan untuk menangani ketidakstabilan dan terorisme.
Sejumlah laporan menyebutkan dengan dilarangnya protes di jalan-jalan, internet merupakan satu-satunya forum bagi warga Mesir untuk mengungkapkan pendapat mereka.
(nvc/nvc)