- January 8, 2019
- Posted by: admin
- Category: Berita

Blitar – Senyuman terpancar dari wajah Mbah Cikrak saat melihat rumahnya direnovasi. Sembari duduk di pinggir halaman rumah, ia menyaksikan para tukang menata batako-batako menjadi tembok, kedua telapak tangan wanita berusia 84 tahun itu menengadah ke atas, seakan tak henti melantunkan doa.
Mbah Cikrak mengaku sangat bersyukur karena masih ada orang lain yang peduli kepadanya. Selama 30 tahun Mbah Cikrak dan anak lelakinya tinggal di gubuk bambu tak layak huni itu.

Gubuk itu didirikan di bantaran sungai Kelurahan Selopuro RT 1 RW 3 Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Atas izin pamong desa setempat, di tepi bantaran sungai itu keluarga Mbah Cikrak memulai kehidupan yang berbalik 180 derajat dari sebelumnya.
Dulu Mbah Cikrak dikenal sebagai juragan cabai yang terpandang di kampungnya. Namun roda kehidupan berputar sangat cepat. Akibat harga cabai anjlok, Mbah Cikrak menanggung banyak hutang. Semua kekayaannya habis tak tersisa untuk membayar semua tanggungannya.
Mbah Cikrak kemudian banting setir dengan berjualan nasi pecel dan dawet di gubuk itu. Suami dan anak lelakinya bekerja sebagai tenaga serabutan. Namun di tahun 2005, sang suami meninggalkannya menghadap Sang Kuasa terlebih dahulu.
“Namung nglampahi dawuhe Gusti (hanya menjalankan takdir dari Tuhan),” hanya kalimat itu yang terucap oleh Mbah Cikrak saat ditemui di rumahnya, Selasa (8/1/2018).
Komunitas yang peduli pada kediaman Mbah Cikrak adalah komunitas reuni SMPN 2 Wlingi angkatan tahun 1988. Jumlah anggotanya sekitar 30 orang. Selain sebagai ajang silaturahmi, mereka punya program sosial peduli sesama di mana Mbah Cikrak menjadi salah satu warga Blitar yang menerima bantuan itu.
Namun menjalani kehidupan mulai dari nol tidak membuat Mbah Cikrak patah semangat. Bersama suami dan anak lelakinya, mereka menata kembali kehidupan baru jauh dari kemapanan.
“Kami manfaatkan grup reuni untuk menggalang kepedulian pada sesama. Di saat kemapanan tidak merata, yang kita lakukan langsung action menyalurkan sumbangan. Karena tidak mungkin pemerintah bisa mengatasi semua masalah yang ada. Jika kita yang mampu, tidak peduli pada kaum papa,” kata Koordinator Reuni 88 Wiro Faizin secara terpisah.
Sembari menunggu renovasi rumah Mbah Cikrak selesai, pihaknya juga berencana meminta bantuan PLN setempat agar menyalurkan aliran listrik ke rumah Mbah Cikrak. Bagaimana tidak, selama ini rumah Mbah Cikrak ternyata hanya diterangi lampu tempel.
Salut!
(lll/lll)