Politik dan Sabung Ayam


Foto: Hasan Alhabshy


Jakarta -Sabung ayam merupakan kegiatan yang dapat dikatakan sebagai hiburan oleh sebagian kalangan masyarakat yang hobi untuk itu, tetapi juga sebagai kesempatan untuk berjudi. Dalam kegiatan sabung ayam ini, ayam-ayam jago yang memiliki kualitas berkelahi yang tangguh diadu dalam arena yang dipagari. Ayam jago diadu untuk mematikan atau mengalahkan ayam jago yang lainnya. Ayam jago berusaha untuk mematikan lawannya dengan sebilah pisau kecil yang diikat pada tajinya. 

Penonton yang menyaksikan kegiatan itu terhibur. Selain terhibur, mereka tidak segan-segan untuk berjudi. Demikian halnya politik di Indonesia saat ini, tidak berbeda jauh dengan kegiatan sabung ayam. Untuk itu, politisi yang maju untuk berkompetisi harus dapat mempersiapkan mental. Hal ini sangat dibutuhkan sebab membaca kegilaan politik di tahun-tahun belakangan ini cukup menguras waktu, otak dan tenaga, dan juga finansial. 

Bangsa Indonesia dihadapkan kembali pada fenomena politik, hukum, dan moral. Hal ini tampak bahwa belum ada yang berubah dari pelaksanaan kampanye. Kampanye terkesan biasa-biasa saja, dan tidak ada sesuatu yang membuat publik ingin terlibat. Begitu juga dengan gagasan dan ide yang ditawarkan, juga tidak ada yang istimewa. 

Sutan Syahrir, tokoh sosialis radikal dan juga Perdana Menteri RI di zaman Orde Lama dalam sistem Kabinet Parlementer pernah berkata, “Politik bukanlah sekadar perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat, dan bersikap moral tinggi. Para pemimpin harus menjadi pahlawan laksana para nabi.” 

Namun, praktik politik saat ini justru sarat dengan berbagai perhitungan yang penuh aroma spekulasi sebagaimana halnya sebuah perjudian yang mengejar sejumlah kemungkinan dalam ketidakpastian. Maka definisi politik sebagai seni mengubah ketidakmungkinan menjadi hal yang mungkin semakin mendapat legitimasi sosial tanpa moral. 

Politik, khususnya dalam kontestasi pemilihan presiden, telah diwarnai hitung-hitungan melalui mekanisme survei popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Praktik politik masa kini hampir pasti tidak bisa dimenangkan tanpa digerakkan dengan uang, dan uang itu juga harus didayagunakan dan diperlakukan seperti halnya memainkan dadu di atas meja judi. Harus berani mengambil keputusan berdasarkan hitung-hitungan spekulatif. 

Tidak ada teman sejati dalam perjudian. Yang ada hanya teman dalam persekongkolan untuk menang. Idealisme telah tergusur oleh pragmatisme. Menghalalkan segala cara untuk menang semakin mendapatkan momentumnya. Inilah masa di mana politik sebagai seni dan idealisme serta ilmu pengetahuan dan etika mencapai puncak krisisnya. 

Rakyat tertipu dalam buaian para politisi. Rakyat begitu sulit bersatu untuk memperjuangkan kepentingannya. Namun, di sisi lain rakyat begitu mudah dipersatukan melalui event politik demi kepentingan para politisi. Rakyat semakin mudah dibentuk dalam politik kepentingan, juga mudah saling berbenturan di antara mereka sendiri demi memenuhi kehendak patron politiknya. Rakyat terkotak berdasarkan partai pendukung dan juga figur atau politisi. 

Itulah gambaran situasi politik bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Sebuah potret buram demokrasi kita, akibat transformasi politik yang salah arah dan gagal. 

Politik dalam pandangan masyarakat akar rumput bagaikan kegiatan sabung ayam. Dan, masyarakat menikmati dunia percaturan politik seperti mereka menikmati ayam jago di dalam arena sabung ayam. Ayam jago ibaratkan kandidat yang bertarung di arena politik. Dan, masyarakat pun telanjur menikmatinya. Menunggu ada yang keok, lalu bersorak, bahkan mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik kita, mencari kepuasan dalam kedunguan lawan. 

Dalam pileg dan pilpres yang menjadi kekuatan adalah visi dan misi setiap kandidat. Seperti halnya ayam jago dalam arena sabung ayam yang menjadi kekuatannya adalah tajinya. Politik adalah kecerdasan. Kecerdasan dalam memikat hati masyarakat khususnya pemilih. Kecerdasan untuk membungkam lawan. Kecerdasan untuk melihat waktu yang tepat untuk mematikan lawan. Politik adalah pikiran. Pikiran yang dijabarkan dalam visi dan misi. Pikiran untuk mencari solusi dalam menyerang lawan. 

Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Ini adalah gambaran demokrasi bangsa Indonesia di era Reformasi. Hal ini tidak dapat dipungkiri.

Yoseph Yoneta Motong Wuwuralumnus Universitas Flores, Ende

(mmu/mmu)





Leave a Reply