Pendapatan Negara dari Pajak Menurun, Diperlukan UU Tax Amnesty

indexJakarta, BP-Ketua Komisi XI DPR RI Achmadi Noor Supit menyatakan,  jika pendapatan negara dari pajak terus menurun hingga  minus Rp290 triliun  akan mengkhawatirkan kelangsungan  program pembangunan bangsa. Karena itu pemerintah melalui Menkeu RI Bambang Brodjonegoro, mengusulkan RUU pengampunan pajak (tax amnesty). Hanya saja RUU ini baru masuk Baleg DPR dan belum diputuskan  Bamus DPR untuk dilanjutkan atau tidak.
“DPR akan mendukung RUU tax amnesty agar langkah pemutihan ini bisa memiliki data base dan potensi pembayar pajak  lebih baik,” ujar Achmadi di Gedung Media Center DPR RI, Jakarta, Kamis (3/3).
Menurut dia, waktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memotong APBN hanya Rp 27 triliun, namun berdampak luar biasa, sehingga  dengan tax amnesty  pemerintah menargetkan dalam 6 bulan akan memperoleh  Rp 60 triliun. “Terlepas dari pro dan kontra harus ada solusi untuk memenuhi APBN,” tegas  Achmadi Noor Supit.
Supit menambahkan,   tax amnesty potensi pembayar pajak  lebih baik ke depan, karena dana di luar negeri yang mencapai Rp 4.000 – Rp 6.000 triliun itu bisa masuk ke Indonesia, meski  di dalam negeri justru lebih besar dari itu. “Saya melihat dari kepentingan negara di tengah pendapatan dari pajak (tex rasio) nya terus menurun. Sehingga kita harus menjaga posisi Indonesia agar tidak bangkrut,” kata Supit.
Dikatakan, DPR tak mempersoalkan motivasi politik pemerintah tentang siapa yang  akan memanfaatkan tax amensty tersebut. Sebab yang seharusnya orang atau perusahaan tertentu wajib membayar pajak Rp 4 triliun, namun dengan urus-mengurus akhirnya cukup bayar Rp 400 miliar. “Itulah yang harus dibereskan, mengingat dana dari pajak  mencapai lebih dari 83 % APBN. Dan, itu  berbeda dengan ‘sunset polecy’,” paparnya.
Anggota Komisi VII DPR RI  Aryo PS Djojohadikusumo mendukung  langkah pemerintah untuk meningkatkan pajak tersebut. Yang menjadi persoalan bagaimana dengan mereka yang selama ini sudah taat membayar pajak, tapi tetap diinvestigasi dengan RUU tax amensty tersebut.
”Potensi pajak di dalam negeri sangat besar, hanya tak bisa ditarik akibat berbagai faktor pidana dan sebagainya. Karena itu harus fair, adil, setara untuk semua pembayar pajak. Jangan sampai RUU tax amnesty ini justru menguntungkan pengempalang pajak,” tegas Aryo .
Jika hal tersebut terjadi kata Aryo, 5 – 10 tahun ke depan, pembayar pajak yang taat tak mau lagi membayar pajak, karena  ada pengampunan. “Jadi, kita mendukung langkah pemerintah, namun jangan sampai RUU itu menjadi budaya baru untuk tidak membayar pajak. Sebab, banyak restoran dan pengusaha di Jakarta   tidak membayar pajak karena tidak mempunyai NPWP,” tambah Aryo.
Karena itu kata Aryo, harus ada keberanian secara holistik untuk menata potensi pembayar pajak itu dari RT/RW. “DKI Jakarta saja kehilangan Rp 1 triliun per tahun akibat ketidakrapian Dirjen Pajak  mengurus pajak,” paparnya.
Pengamat Ekonomi dari INDEF Enny Sri Hartati menegaskan, persoalannya bukansetuju atau tidak setuju   RUU Tax Amnesty, karena   RUU ini bukan satu-satunya instrumen persoalan yang dihadapi pemerintah. Pemerintah dan DPR harus hati-hati membuat skema dan merumuskan RUU ini dan tak sekadar   tambahan pajak Rp 60 triliun.
“Apalagi dana yang parkir di luar negeri sudah masuk ke Indonesia dalam bentuk property, kelapa sawit, tanah dan sebagainya,” tegasnya.
Dengan pengampunan pajak itu kata Enny, pasti ada ketidakadilan dengan mereka yang selama ini taat pajak. Dengan demikian, kalau RUU itu benar   dibahas, seberapa besar manfaatnya dalam jangka panjang   terhadap peningkatan wajib pajak.  “Kalau RUU itu sebagai langkah rekonsiliasi, pertanyaannya apa yang akan dan telah dilakukan  Dirjen Pajak selama ini? Apakah data base-nya sudah terintegrasi dengan data kependudukan?” ungkapnya. #duk



Leave a Reply