- March 4, 2016
- Posted by: admin
- Category: Berita
Jakarta, BP-Ketua Komisi XI DPR RI Achmadi Noor Supit menyatakan, jika pendapatan negara dari pajak terus menurun hingga minus Rp290 triliun akan mengkhawatirkan kelangsungan program pembangunan bangsa. Karena itu pemerintah melalui Menkeu RI Bambang Brodjonegoro, mengusulkan RUU pengampunan pajak (tax amnesty). Hanya saja RUU ini baru masuk Baleg DPR dan belum diputuskan Bamus DPR untuk dilanjutkan atau tidak.
“DPR akan mendukung RUU tax amnesty agar langkah pemutihan ini bisa memiliki data base dan potensi pembayar pajak lebih baik,” ujar Achmadi di Gedung Media Center DPR RI, Jakarta, Kamis (3/3).
Menurut dia, waktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memotong APBN hanya Rp 27 triliun, namun berdampak luar biasa, sehingga dengan tax amnesty pemerintah menargetkan dalam 6 bulan akan memperoleh Rp 60 triliun. “Terlepas dari pro dan kontra harus ada solusi untuk memenuhi APBN,” tegas Achmadi Noor Supit.
Supit menambahkan, tax amnesty potensi pembayar pajak lebih baik ke depan, karena dana di luar negeri yang mencapai Rp 4.000 – Rp 6.000 triliun itu bisa masuk ke Indonesia, meski di dalam negeri justru lebih besar dari itu. “Saya melihat dari kepentingan negara di tengah pendapatan dari pajak (tex rasio) nya terus menurun. Sehingga kita harus menjaga posisi Indonesia agar tidak bangkrut,” kata Supit.
Dikatakan, DPR tak mempersoalkan motivasi politik pemerintah tentang siapa yang akan memanfaatkan tax amensty tersebut. Sebab yang seharusnya orang atau perusahaan tertentu wajib membayar pajak Rp 4 triliun, namun dengan urus-mengurus akhirnya cukup bayar Rp 400 miliar. “Itulah yang harus dibereskan, mengingat dana dari pajak mencapai lebih dari 83 % APBN. Dan, itu berbeda dengan ‘sunset polecy’,” paparnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Aryo PS Djojohadikusumo mendukung langkah pemerintah untuk meningkatkan pajak tersebut. Yang menjadi persoalan bagaimana dengan mereka yang selama ini sudah taat membayar pajak, tapi tetap diinvestigasi dengan RUU tax amensty tersebut.
”Potensi pajak di dalam negeri sangat besar, hanya tak bisa ditarik akibat berbagai faktor pidana dan sebagainya. Karena itu harus fair, adil, setara untuk semua pembayar pajak. Jangan sampai RUU tax amnesty ini justru menguntungkan pengempalang pajak,” tegas Aryo .
Jika hal tersebut terjadi kata Aryo, 5 – 10 tahun ke depan, pembayar pajak yang taat tak mau lagi membayar pajak, karena ada pengampunan. “Jadi, kita mendukung langkah pemerintah, namun jangan sampai RUU itu menjadi budaya baru untuk tidak membayar pajak. Sebab, banyak restoran dan pengusaha di Jakarta tidak membayar pajak karena tidak mempunyai NPWP,” tambah Aryo.
Karena itu kata Aryo, harus ada keberanian secara holistik untuk menata potensi pembayar pajak itu dari RT/RW. “DKI Jakarta saja kehilangan Rp 1 triliun per tahun akibat ketidakrapian Dirjen Pajak mengurus pajak,” paparnya.
Pengamat Ekonomi dari INDEF Enny Sri Hartati menegaskan, persoalannya bukansetuju atau tidak setuju RUU Tax Amnesty, karena RUU ini bukan satu-satunya instrumen persoalan yang dihadapi pemerintah. Pemerintah dan DPR harus hati-hati membuat skema dan merumuskan RUU ini dan tak sekadar tambahan pajak Rp 60 triliun.
“Apalagi dana yang parkir di luar negeri sudah masuk ke Indonesia dalam bentuk property, kelapa sawit, tanah dan sebagainya,” tegasnya.
Dengan pengampunan pajak itu kata Enny, pasti ada ketidakadilan dengan mereka yang selama ini taat pajak. Dengan demikian, kalau RUU itu benar dibahas, seberapa besar manfaatnya dalam jangka panjang terhadap peningkatan wajib pajak. “Kalau RUU itu sebagai langkah rekonsiliasi, pertanyaannya apa yang akan dan telah dilakukan Dirjen Pajak selama ini? Apakah data base-nya sudah terintegrasi dengan data kependudukan?” ungkapnya. #duk