- January 4, 2019
- Posted by: admin
- Category: Berita

Foto: ANTARA Foto/M Agung Rajasa
Sukabumi – Kampung Cimapag, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok berduka. Tebing setinggi 200 meter longsor dan menimbun 29 rumah di tempat tersebut. Data terakhir 18 orang meninggal dunia di tempat tersebut, 15 orang lainnya masih dicari.
Kampung Cimapag berada di Kedusunan Garehong, masuk wilayah Kampung Adat dari tiga kasepuhan kesatuan adat Banten kidul, Kasepuhan Ciptamulya, Kasepuhan Sinaresmi dan Kasepuhan Ciptagelar.
Akses perjalanan menuju lokasi longsor sejauh 110 kilometer dari Kota Sukabumi. Sebagian akses masih terjal dan jalan berliku, menghadang siapapun yang akan menuju ke lokasi yang berbatasan dengan Provinsi Banten itu.
“Aktivitas warga di kampung Cimapag yang masuk ke dalam kedusunan Garehong ini ya bertani, berladang. Budaya itu dipertahankan secara turun temurun dan sudah terjaga selama ratusan tahun, lokasi yang tertimbun longsor masuk ke tiga kasepuhan, Sinar Resmi, Ciptamulya dan Ciptagelar,” kata Jaro Iwan, jaro adalah sebutan Kepala Desa (Kades) di kampung tersebut.
Masing-masing kasepuhan dipimpin oleh pemangku adat yang dipanggil dengan sebutan Abah. Para Abah ini mendiami sebuah rumah berukuran besar disebut dengan Imah Gede.
Perayaan atau hari besar warga kampung itu dikenal dengan sebutan Seren Taun, acara panen padi yang kerap menyedot perhatian wisatawan lokal dan mancanegara.
“Kehidupan kami sehari-hari adalah selaras dengan alam dan lingkungan. Jauh sebelum penetapan wilayah ini sebagai kawasan hutan lindung kami sudah dulu berdiam di sini, sudah lebih dari ratusan yang lalu,” lanjut Iwan.
Setiap penduduk menyimpan beras di dalam Leuit atau lumbung padi. Iwan mengungkap bagi masyarakat setempat Leuit adalah tolak ukur kemakmuran warga. Semakin banyak leuit maka artinya sawah atau ladangnya berlimpah.

Jaro atau Kepala Desa Sirnarasa Foto: Syahdan Alamsyah
“Simbol kemakmuran warga sini itu ya leuit, bukan mobil atau banyak uang. Semakin banyak leuit artinya orang tersebut kaya atau mampu, itu juga jadi ciri khas warga di sini dalam kemakmuran,” ujar dia.
“Akibat longsor kemarin entah berapa banyak leuit warga yang tertimbun, kalau ada 29 rumah satu rumah ada 2 leuit saja sudah berapa banyak yang terkubur,” tambahnya.
Kekuatan persaudaraan ditunjukkan masyarakat saat musibah longsor menimpa kampung mereka, para korban tidak merasa kesulitan ketika mencari perlindungan. Tetangga mereka adalah bagian dari mereka, korban tidak mendapat kesulitan untuk istirahat dan makan.
Silih asih, silih asuh sapinandean (saling mengayomi) satu sama lain tercipta tanpa perintah. Satu masyarakat terluka yang lainpun akan merasakan sakitnya, sesuatu yang sulit didapat di daerah perkotaan.
“Simbol kekuatan kekeluargaan amat kuat, jadi wajar pemerintah tidak repot dengan mendirikan tenda pengungsian. Karena warga di sini beranggapan mereka yang mengalami musibah adalah saudara mereka sendiri, kalau perlu satu ruangan akan dikosongkan untuk menampung korban bencana,” tandas Jaro Iwan.
(sya/ern)