- January 17, 2019
- Posted by: admin
- Category: Berita

Kapten Animan Achyat, yang merupakan Komandan Batalyon 30 Resimen XVI Brigade Pertempuran Garuda Merah Divisi II tahun 1947 dalam perang lima hari lima malam
Palembang, BP
Kapten Animan Achyat, adalah Komandan Batalyon 30 Resimen XVI Brigade Pertempuran Garuda Merah Divisi II tahun 1947 dalam perang lima hari lima malam , beliau merupakan orangtua dari mantan Walikota Palembang H Eddy Santana Putra (ESP).
Dalam perang lima hari lima malam tersebut , perjuangan heroiknya selalu dikenang rekan-rekannya lantaran dia yang berposko di Sukarami ikut membantu pasukan Dani Effendi yang mengepung Charitas di Palembang.
Selain itu, pasukannya juga selalu melakukan penghadangan dan pemblokiran bantuan Belanda yang datang dari Talang Betutu, sehingga jalur bantuan Belanda dari Talang Betutu ke pusat pertempuran di tengah kota utamanya ke Charitas dapat dihambat.
“Itu sebabnya Belanda hanya bisa menggunakan serangan udara untuk menyerang pejuang di Palembang,” kata sejarawan Sumsel Syafruddin Yusuf, Kamis (17/1).
Hal senada dikemukakan ESP, bagaimana di masa perang tersebut, hidup keluarganya begitu kesusahan.
“Bapak berjuang juga di Muba dan ikut menghadang pasukan Belanda di Talang Betutu, tugas bapak , mengganggu , pasukan Belanda yang membawa logistik , senjata yang akan masuk Palembang,” katanya, Kamis (17/1).
Cerita perang tersebut menurut ESP yang merupakan anak empat dari delapan bersaudara lebih banyak di kisahkan teman-teman bapaknya ketimbang dari bapaknya sendiri.
“Aku ingat ibu aku pernah marah minta bakar semua isi dalam peti peti barang peninggalan bapak, itulah jimat-jimat itu, termasuk sirik, kata ibu aku, ibu aku minta semuanya dibuang,” katanya.
ESP mengaku kalau dia mendapatkan cerita, ketika ayahnya berjuang ayahnya mendapatkan ilmu dari suku kubu.
“Kalau nembak , bapak aku merem di tempat gelap dan bayangkan kaki orang itu, lalu diarahkan ke kaki dia, walaupun di tempat gelap kena juga , itu ada bacaannya , , dibayangkan kaki , tapi itu bahaya juga kalau kita terbayang bini kita sendiri,” senyumnya.
Walaupun demikian dari delapan bersaudara tidak ada dari keluarganya yang menjadi tentara mengikuti langkah bapaknya sendiri.
“Bapak selalu bilang kalau kehidupan tentara itu susah, mayor keatas baru lumayan hidupnya, adik aku dulu pernah coba masuk tentara karena tidak direstui, orangtua, dia gagal di Malang karena jempolnya sakit, sekarang sipil semua saudara saya,” katanya.
ESP ingat betul, bagaimana , bapaknya mengajarkan keluarganya jangan makan hak orang lain, jangan tangan di bawah tapi harus tangan diatas dan menurutnya sedekah itu tidak harus kaya dulu.

ESP
“Kami hidup sederhana tapi cukup, bapak aku pernah beli tanah di Pusri , dulu belum ada orang depan pusri, bapak aku beli tanah 4 hektar dengan rumah, semua ada, nak ikan ada kolamnnya tinggal ambil, sayur, cabe tinggal ambil, tomat, buah buahan ,” katanya.
Selain itu bapaknya saat menjadi tentara mendapatkan jatah beras dua karung.
“Telok banyak, ayam dan bebek banyak, jadi gizi cukup, dan duit pensiun tentara itu tidak banyak,” katanya.
Namun tahun 1977, mereka pindah di Jalan Natuna dan hingga kini.
“Kami pindah dari Pusri, saat sudah mulai banjir, setelah itu kami pindah di Jalan Natuna tahun 1977, ada penyesalan kenapa pindah ke kota padahal enak di sana (Pusri),” katanya.#osk