- January 23, 2019
- Posted by: admin
- Category: Berita

kanzu, pengidap bruck syndrome pertama di Indonesia. Foto: Frieda Isyana Putri
Jakarta – Sekilas Muhammad Kanzu Ilmi Zarkasih tampak seperti balita pada umumnya, hanya tubuhnya cukup kecil dan tampilannya yang memakai kacamata dan duduk di kursi roda anak yang mencolok. Bocah yang akrab disapa Kanzu ini sudah nyaris 5 tahun mengidap Bruck syndrome.
“Nanti April besok dia lima tahun. Big baby ini, hahaha,” tutur sang ibu, Dwi Sriwagiyanti (37), diikuti tawa saat ditemui detikHealth di kediamannya di Depok, Jawa Barat, Selasa (22/1/2019).
Bruck syndrome merupakan penyakit langka di mana hanya 40 kasusnya yang dilaporkan di seluruh dunia. Ciri-ciri dari sindrom langka ini biasanya ditunjukkan dengan tulang rapuh atauosteogenesis imperfecta dan sendi kaku atau Arthrogryposis, skoliosis karena kelainan bentuk tulang dan tubuh pendek, menurut situs Genetic and Rare Diseases Information Center.
Beruntung bagi Dwi dan suaminya, Efendi Zarkasih (38), kelainan pada Kanzu diketahui sangat dini. Saat memeriksakan USG pada kandungannya yang berusia tiga bulan, dokter melihat bentuk kaki Kanzu yang tidak simetris dan menekuk ke dalam dan memberikan beberapa rencana tahapan penanganan koreksi kaki ketika Kanzu lahir nanti.
Di usia 37 minggu, ditemukan air ketuban Dwi sangat berkurang dan disarankan untuk melahirkan saat itu juga. Akan tetapi posisi Kanzu yang melintang menyulitkan persalinan walau dilakukan dengan metode caesar sekalipun. Akibatnya, tulang pahanya patah dan sekujur tubuhnya membengkak.
Melihat keadaannya, dokter anak yang menangani Kanzu sempat merasa putus harapan. Emosi juga sempat dirasakan oleh Efendi karena seakan tak ada harapan bagi anaknya. Bone survey menunjukkan Kanzu mengidap osteogenesis imperfecta yang membuat semua tulangnya rapuh dan mudah patah, serta Arthrogryposis yang membuat sendinya kaku dan lututnya tak bisa ditekuk.
Osteogenesis imperfecta (OI) tercatat 1 dari 20.000 kelahiran, sehingga termasuk kelainan langka. Selama tiga tahun penuh, Efendi dan Dwi bertarung melawan waktu untuk membuat Kanzu kembali sehat, namun saat itu mereka belum mengetahui diagnosis pasti akan penyakit anak kedua mereka.
“Tiga tahun ke bawah, mungkin kita ada tiga sampai empat kali bolak-balik rumah sakit selama sebulan. Buat dia sehat aja susah banget, susahnya luar biasa. Sampai kita karantina, mau kita bawa ke mana susah. Keluar sedikit sakit,” terang Efendi.
Karena hanya diketahui mengidap OI, penanganan Kanzu difokuskan ke penguatan massa tulang dengan meminum obat Zoledronate acid. Dwi pun berkutat mencari informasi hingga bergabung ke kelompok orang tua pengidap OI internasional, dan saat itu ia mulai mencurigai sesuatu.
“Saya selalu infokan ke dokter. Dok, ini kok anak saya belum bisa duduk ya, temen-temennya yang lain yang tipe 2 atau tiga yang lebih parah dari dia udah bisa duduk. Bahkan udah bisa jalan. Saya curiga ini ada sesuatu yang lain,” kata Dwi yang sebelumnya bekerja sebagai guru bahasa Inggris ini.
Selain dua penyakit kombinasi Bruck syndrome, Kanzu juga ditemukan mengidap kelainan minor lain seperti hernia, wormian bones (kelainan tengkorak), Blue schlera (bagian putih dari mata tampak kebiruan), Undescended Testis (UDT) dan CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) yang menyebabkan kakinya menekuk ke dalam.
Dadanya yang membusung juga menyebabkan paru-parunya rentan infeksi. Ia pernah mengalami laryngo malacia, radang paru-paru bronchopenumonia, dan saat dikunjungi tim detikHealth, Kanzu baru saja menjalani pengobatan untuk tuberkulosis (TB).
Sayangnya di Indonesia, Kanzu menjadi yang pertama mengidap sindrom langka ini. Sehingga menyulitkannya untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Di luar negeri pun masih cukup sulit mencari rumah sakit yang bisa menangani penyakit seperti ini.
“Alhamdulillah dia memang nggak perlu pakai alat bantu segala macem. Tapi kita juga mikir, akhirnya dia harus sekolah ya. Dia bisa lah sekolah dengan temen-temennya walau dengan kondisi seperti ini. Tapi harus dikoreksi juga dari pinggang ke bawah, bisa pasang rod atau pen, tapi buat batita belum ada di Indonesia,” kata Dwi lagi.
Kanzu yang kesulitan duduk pun akhirnya harus menggunakan kursi roda khusus, yang Dwi dapatkan dari donasi sebuah perusahaan di Amerika Serikat. Banyak informasi yang masuk mulai dari mengobati ke Belanda dan Amerika Serikat, namun kendala biaya menahan mereka untuk maju.
Namun suatu hari ia mendapatkan titik terang, seorang teman sesama orang tua OI menyarankan ke rumah sakitkhusus ortopedi anak di Montreal, Kanada. Setelah berdiskusi panjang dan banyak pertimbangan, Dwi dan Efendi mengajukan email ke rumah sakit tersebut.
Gayung bersambut, rumah sakit tersebut merespon bersedia menerima Kanzu tanpa menarik biaya sepeser pun. Sembari membereskan beberapa dokumen dan berkas, muncul lagi kendala bagi mereka berdua. Mereka memerlukan sponsor yang mampu menampung mereka selama di Kanada, dan biaya hidup yang tak murah.
“Sebenarnya kita sih nggak terfikir (sampai luar negeri) karena biaya ya. Jujur nggak punya tabungan sama sekali, karena setiap punya tabungan keluar lagi (untuk pengobatan). Yang paling rumit kita perlu sponsor, jadi orang Kanada yang menjadi penanggung jawab kita di sana, itu yang kita lagi cari sih. Mudah-mudahan ada ya, karena ada harapannya di sana. Mikir juga paling nggak mesti 6 bulan di sana, biaya hidup segala macem,” lanjut Dwi.
Akhirnya mereka memutuskan untuk membuka laman donasi di KitaBisa.com, untuk mengumpulkan dana keperluan pengobatan Kanzu di Kanada. Mereka sangat bersyukur Kanzu dan juga kakaknya, Kayyisa (9), sangat kooperatif dalam perjuangan mereka menyembuhkan. Kayyisa tumbuh akrab dengan adiknya, bahkan mengaku bahwa adiknya tersebut sangat iseng dan lucu.
Kanzu pun tumbuh menjadi anak yang cerdas, ia mampu berhitung hingga dua puluh dalam bahasa Inggris. Soal penyakitnya, ia juga mampu untuk memberitahu bagian mana tubuhnya yang sakit atau jika ia merasa capek. Kini Kanzu juga fokus untuk fisioterapi agar membantunya dapat bergerak walau sedang berada di kasur sekalipun, bahkan menggunakan kursi roda ia sudah sangat mahir.
Efendi dan Dwi juga ingin mengenyahkan stigma soal anak-anak penyakit langka yang terlahir sebagai ‘hukuman’ atau ‘kutukan’ akibat dosa orang tuanya. Bagi mereka, Kanzu adalah berkah dan kesempatan dari Tuhan untuk semakin mendekatkan diri dan memohon ampunan.
(frp/up)