Kereta Kuda di Palembang

BP/IST
Kereta kuda di Palembang

Oleh : Pengamat sejarah kota Palembang, Kms Andi Syarifuddin

Seperti yang telah diungkap sebelumnya, jika kita amati dengan seksama dalam sebuah lukisan yang menggambarkan keberangkatan Sultan Mahmud Badaruddin bersama puteranya diasingkan ke Ternate pada tahun 1821, terlihat jelas Sultan Palembang dihantar menuju kapal dengan menaiki kereta kuda, yang kemudian dinaikkan ke kapal. Terlihat Kereta kencana yang ditarik setidaknya oleh 2 ekor kuda atau lebih.

Terakhir, dimasa kolonial, kereta kencana Kesultanan Palembang disimpan di rumah Pangeran Bupati Astra Diningrat Pangeran Jaksa di Guguk Kepandean 18 ilir. Pada momen-momen tertentu kereta ini masih digunakan. Namun sayangnya rumah limas milik Pangeran Jaksa ini sekarang sudah tidak ada lagi, dan kereta kencananyapun gaib entah kemana, wallahu a’lam.

Pangeran Bupati Astra Diningrat bernama lengkap RM. Ali Pangeran Jaksa bin Raden Keling Hayatuddin bin R. Gembul Abdurrahman bin RM. Ali bin Pangeran Nata Kerama bin R. Bomo bin Pangeran Purba Negara Usman bin bin Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal. Sedangkan ibunya ialah RA. Keling Nahya bt RM. Hasir bin Pangeran Penghulu Nata Agama Akil bin Pangeran Nato Dirajo bin Pangeran Ratu Purbayo bin Sultan Muhammad Mansur bin Sultan Abdurrahman Candi Walang.

1.Ali Pangeran Jaksa merupakan putera sulung dari 7 bersaudara kandung, mereka masing-masing ialah: RM. Ali, R. Usman, R. Abubakar, R.A. Zahra, R. Umar, RM. Tohir dan RM. Zahir. Beliau anggota keluarga bangsawan Kesultanan Palembang berasal dari Guguk Kepandean 18 ilir, tidak jauh dari keraton dan Masjid Agung. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan ini, tinggal di rumah adat Limas secara turun temurun. Rumah Limas Pangeran Jaksa ini merupakan salah satu dari 3 rumah limas yang besar di era Kesultanan, yang dihuni oleh tiga serangkai pejabat tinggi dari golongan pribumi/bangsawan Palembang ketika masa kolonial Belanda. Yaitu Rumah Limas Pangeran Bupati Astra Diningrat/Pangeran Jaksa di Kepandean 18 ilir, Rumah Limas Pangeran Penghulu Nata Agama Mustafa di Kapuran 19 ilir, dan Rumah Limas Demang Polisi RM. Ali di Sungai Tawar 28 ilir.

Pangeran Jaksa mendapat banyak tugas dan jabatan yang diembannya, di antaranya:

– Pejabat tinggi Pemerintahan Belanda dari golongan pribumi di Kota Palembang.

– Pegawai Pengadilan Gubernemen (Landraad) Palembang.

– Pakar Hukum.

– Jaksa Besar/Jaksa Agung.

– Pangeran Jaksa, dan lainnya.


Kms Andi Syarifuddin

Selain Pengulon sebagai Pengadilan Agama sejak jaman Kesultanan Palembang Darussalam yang diketuai oleh Pangeran Penghulu Nata Agama, di jaman penjajahan kolonial, Belanda membentuk pula aturan-aturan Rad, yaitu Landrad atau pengadilan sekuler/Negeri yang diketuai Pangeran Jaksa. Jaksa merupakan aparat penegak hukum (hakim) yang bertugas untuk menaungi masalah peradilan dalam sidang pengadilan Landraad. Salah seorang yang menjabat sebagai Jaksa Agung/Jaksa Besar waktu itu ialah Pangeran Bupati Astra Diningrat. Beliau wafat dan dimakamkan di ungkonan Gubah Pangeran Jaksa di Candi Walang. Salah seorang anaknya yang meneruskan jejak langkahnya sebagai jaksa ialah RM. Arfah Hoofd Jaksa (w.1915). Di Rumah Limas Pangeran Bupati Astra Diningrat inilah kereta kencana Kesultanan Palembang terakhir disimpan.

Sedangkan sarana umum angkutan kereta kuda atau disebut ‘sado’ di Kota Palembang waktu itu masih terlihat wara wiri di jalanan.  Setelah jaman kemerdekaan, jenis angkutan sado inipun tidak terlihat lagi.

BP/IST
Sebuah lukisan yang menggambarkan keberangkatan Sultan Mahmud Badaruddin II bersama puteranya diasingkan ke Ternate pada tahun 1821, terlihat jelas Sultan Palembang dihantar menaiki kereta kuda yang kemudian dinaikkan ke kapal. Kereta kencana yang ditarik setidaknya oleh 2 ekor kuda atau lebih.

Karena begitu berarti dan monumentalnya kuda Palembang ini, sehingga pemerintahan Belanda mengabadikannya dengan membuat patung Kuda Liar dari perunggu dengan kedua kakinya ke atas, dipancangkan di tengah-tengah bagian muka rumah Residen dalam tahun 1834 (kini Museum SMB ll). Patung kuda liar ini seakan-akan mengisyaratkan simbol Kesultanan Palembang yang sulit dijinakkan dan dikendalikan. Sejak tahun 1930-an patung kuda liar ini tidak ada lagi. Menurut RHM. Akib (RHAMA), rumah Residen tersebut dibangun Belanda di atas lokasi bekas Istana Keraton Tengkuruk, dan di halaman belakangnya terdapat istal-istal atau kandang kuda.

Sekarang ini, Pemerintah Kota Palembang menyediakan kembali kereta kuda yang dulu pernah ada sebagai sarana wisata, dan hal ini tentunya patut kita sambut dan diapresiasi dengan baik.#



Leave a Reply