Sejuta Rumah Makin Tersudut

sejutaPalembang, BP – Merdeka 70 tahun lalu bukan berarti semua elemen masyarakat sudah memiliki rumah sendiri. Program Sejuta Rumah dicanangkan menuai jalan buntu, kendala lahan dan makin tingginya harga tanah membuat rumah murah ini makin tersudut alias makin jauh dari hingar bingar kota.
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan dari sisi permintaan. Pasalnya, yang mau membeli rumah itu banyak. Masalahnya, justru di mana lagi tempat pemerintah bisa menyediakan rumah, sementara harga tanah naik terus.
“Dari anggaran sebanyak Rp 5,1 triliun yang diprediksi sudah habis pada Juni. Lebih krusial lagi adalah masalah tersedianya lahan,” katanya, Minggu (16/8).
Dia menjelaskan, program ini sebenarnya sudah bergulir sejak April 2015.Sejumlah kendala yang membuat program Sejuta Rumah tidak tercapai secara maksimal. Dari sisi pasokan, tidak lepas dari masalah tanah.
Tanah menjadi pokok pembahasan penting dalam hal membangun rumah murah. Selama ini, pemerintah juga sudah menerapkan peraturan huniah berimbang yaitu kewajiban pengembang yang membangun satu rumah mewah, dua rumah menengah, dan tiga rumah murah, itu sudah menunjukan pemerintahan saat ini, memang sudah ada semangat untuk menyediakan rumah rakyat.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menginginkan adanya regulasi khusus soal tanah. Meski begitu, peraturan ini sulit diikuti oleh pengembang, karena praktik di lapangan banyak terkendala ketersediaan lahan.
Pemerintah bisa menjamin rumah rakyat dengan adanya bank tanah. Keadaan yang ada saat ini adalah harga rumah dilepas ke pasar. Padahal seharusnya, dalam menentukan harganya, patokannya haarus mengacu kepada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sebab, karena harga tanah yang terlalu tinggi, sulit diberlakukan harga rumah FLPP.
Menyediakan bank tanah sebenarnya bukanlah kewajiban pemerintah pusat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan pemerintah daerah untuk menyiapkan tanah agar harga bisa dipatok. “Pemda yang memiliki kewenangan untuk memaksa harga tanah tidak naik dengan signifikan,” ucap dia.
Kendati, hal ini juga tidak mudah dilakukan, mengingat perlu ada keputusan presiden langsung yang mewajibkan pemerintah daerah menekan harga tanah.
“Pemda misalnya punya tanah seharga Rp200.000 per meter persegi, di sampingnya ada tanah milik swasta juga Rp200.000 per meter persegi. Pemda bisa menekan harga tanahnya, sehingga tanah di sampingnya juga tidak ikut naik drastis,” jelas Ali.
Sayangnya, pemda menurut Ali tidak berani mematok harga. Pasalnya, hal tersebut bisa berimbas pada kecurigaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, keputusan presiden (kepres) sangat penting dalam hal mewajibkan pemda menekan harga.
Sementara itu, kepada BeritaPagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengakui hal ini. Sulitnya mendapatkan tanah dengan harga yang murah di kawasan perkotaan membuat pengembang memilih lokasi yang agak jauh dari pusat kota.
Direktur Utama Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Republik Indonesia (RI) Budi Hartono mengatakan saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk memberikan lokasui yang terbaik untuk program rumah murah ini. “Itu dia memang masalah lahan kian sulit, di Kota sudah tidak murah lagi, sehingga rumah murah ini makin jauh dari pusat kota,” katanya tanpa solusi. (Okcm/ren/BP)



Leave a Reply