- May 12, 2016
- Posted by: admin
- Category: Berita
No Comments
Jakarta, BP-Anggota Komisi VIII DPR RI, H Anda, menegaskan, agar pelaksanaan haji dan umroh lebih baik, pihaknya mengusulkan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. RUU ini juga sebagai revisi terhadap UU No.13 tahun 2018. “Khusus masalah operator, regulator dan pengawasan masih terjadi kekurangan dalam peyelenggaraan ibadah haji. RUU ini akan diputuskan di Paripurna DPR RI akhir Mei 2016 ,” ujar H Anda di Ruangan Wartawan DPR RI, Jakarta, Selasa (12/5).
Menurut Anda, disahkan menjadi RUU inisiatif DPR RI diharapkan antara regulator, operator dan pengawasan bisa berjalan baik, dan professional. Hanya saja pemerintak seperti tidak siap dengan pelaksanaan RUU ini.
Ketidaksiapan pemerintah kata Anda, diduga karena pengelolaan keuangan haji mencapai 9 triliunan rupiah dalam laporan haji tahun 2015, namun realisasinya menjadi Rp 10.150 triliun. Sehingga ada kelebihan Rp 1.150 triliun. “Laporannya belum selesai, tapi tetap membahas RUU ini secara paralel. Kalau RUU ini tidak direspon berarti pemerintah tidak berpihak kepada umat Islam untuk menyelenggarakan ibadah haji yang baik dan profesional,” kata Anda.
Dengan RUU ini lanjut dia, Kemenag RI menjadi regulator sedangkan operator dilakukan BPHI (Badan Penyelenggara Ibadah Haji) dan sebagai pengawas Majelis Amanah Haji (MAH). Anggota MAH terdiri 3 orang dari kementerian yang memahami hukum syariah, 2 orang menejer, 1 orang keuangan, dan 1 orang lagi ahli hukum.
Dia menambahkan, biaya Penyelenggaraan ibadah haji resmi Rp 34.641 juta, tapi seluruh biaya yang ditanggung mencapai Rp 64 juta. Kekuarangan tersebut berasal dari dana optimalisasi haji Rp 3,9 triliun yang berasal dari bunga dana jamaah haji.
Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia, H Ade Marfuddin mengakui pemerintah selama ini kurang berpihak kepada jamaah haji, maka wajar jika ada UU No.17 tahun 1999, disusul UU No.13 tahun 2008 tentang haji, dan kini usulan RUU yang akan memisahkan antara regulator, operator, pengawas haji dan umroh. Persoalannya Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang ada saja belum dijalankan, berarti Kemenag RI tidak siap.
Bahkan BPKHI kata Ade, sampai sekarang belum dibentuk, sesuai dengan UU No.24 tahun 2013 tentang BPKHI. Padahal, menurut Anggito Abimanyu (mantan Dirjen Haji dan Umroh) Kemenag RI, keterlambatan pembentukan BPKHI itu berarti dzolim.
Dia berharap pemerintah dan DPR harus berani memisahkan antara operator, regulator dan pengawas haji. Apalagi ada dana APBN dan APBD dalam pelaksanaan haji itu. Mestinya ada laporan keuangan haji setiap tahun kepada jamaah haji. Baik yang belum maupun sesudah berangkat haji. “Bayangkan kalau dalam setahun jamaah daftar tunggu sampai 3 juta orang, berapa uang yang tersimpan?” tanya Ade.
Ketua Badan Pengawas Haji Indonesia (BPIH) Samidin Nashir menyatakan, ibadah haji merupakan tugas nasional berbagai aspek dan melibatkan ratusan ribu jamaah haji, maka harus ditangani dengan menejemen profesional. Ibadah haji ibarat pemindahan logistik, harus benar-benar cermat, kompetensi tinggi, standar operasional (SOP) jelas dan harus dilakukan dengan matang.
Diakui BPKHI tersebut juga belum jalan, akan tetapi jika uang penyelenggara haji harus menunggu dari BPKHI, tidak akan jalan. Karena, koordinasi masalah keuangan sulit, birokrasi dan prosedur keuangan seringkali menghambat pelaksanaan haji. #duk