- April 16, 2018
- Posted by: admin
- Category: Berita
Palembang, BP–PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region II Sumbagsel mengklaim 80 persen stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) masih menyediakan bahan bakar penugasan yakni premium. Namun penyaluran ke SPBU sudah tidak sebanyak beberapa tahun lalu.
General Manager Pertamina MOR II Sumbagsel Erwin Hiswanto didampingi Field Marketing Ritel Manager Pertamina MOR II Palembang Putut Andriatno mengatakan, beberapa tahun lalu bahan bakar beroktan 88 mendominasi penyaluran bahkan mencapai 90 persen.
“Kini mereka yang tadinya menggunakan premium sudah beralih ke Pertalite dan peralihan mencapai 50 persen dan premium 40 persen. Sisanya Pertamax dan lainnya,” katanya saat kegiatan pelepasan Jelajah Kota Pusako Betuah Negeri Jambi dengan Pertamax, Dexlite, dan Pelumas Fastron oleh Innova Community Chapter Palembang.
Erwin menjelaskan, penyaluran premium saat ini menyesuaikan permintaan dan pihaknya memastikan masih cukup aman di wilayah Sumbagsel. Pihaknya tidak menampik kini pengusaha SPBU mulai gencar menuju BBM beroktan tinggi, karena tuntutan kendaraan yang sudah tak layak lagi menggunakan premium termasuk solar.
“Ini karena kesadaran masyarakat bahwa menggunakan pertalite, pertamax, dexlite, dan bahan bakar lainnya berimbas positif pada mesin kendaraannya,” ucapnya.
Dari data Pertamina, untuk di wilayah Sumsel, dari 147 total jumlah SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum), sebanyak 80 persen diantaranya masih menyediakan premium dan solar. Sementara di wilayah Sumbagsel, tercatat ada 461 SPBU dic mana 80 persennya juga masih menyediakan BBM bersubsidi itu.
Meski begitu, Pertamina mengklaim tidak mengurangi kuota penyaluran dan distribusi BBM ini. Khususnya BBM bersubsidi. Karena Pertamina memiliki tugas untuk tetap menyalurkan BBM beroktan 88 dimana sebagian masyarakat masih menggunakan BBM tersebut.
Sementara itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno melarang PT Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Rini juga memerintahkan Pertamina menjamin ketersediaan premium.
“Kami sudah berkomitmen bersama tiga menteri, yakni menteri Keuangan, menteri ESDM, dan menteri BUMN bahwa kita harus tetap menyediakan premium dengan harga yang tidak dinaikkan, pertengahan atau akhir 2019,” kata Rini di Yogyakarta.
Meski memiliki nilai oktan (RON) yang relatif rendah, RON 88, jelasnya, premium tetap harus tersedia dan yang menentukan harga premium adalah pemerintah.
Rini mengatakan, akan mengecek secara langsung untuk memastikan ketersediaan premium di lapangan. “Ke depan memang saya mulai keliling lagi untuk mengecek di lapangan agar bagaimana premium selalu tersedia untuk masyarakat,” katanya.
Selain itu, Rini berharap Pertamina tidak ragu untuk tidak menaikkan harga premium, meski saat ini harga minyak dunia naik. Menurut Rini, untuk menjaga agar tidak merugi, Pertamina bisa melakukan subsidi silang terhadap premium dari pendapatan beragam produk Pertamina lainnya seperti produk avtur, LNG, Pertamax, hingga pelumas.
“Betul (merugi-red) karena memang harga minyak mentah di pasar internasional sekarang naik. Tetapi saya selalu menekankan dalam BUMN kita tidak bisa melihat satu produk saja, tetapi harus dikombinasikan dari seluruh aktivitas di perusahaan itu, karena Pertamina itu jual beraneka ragam produk,” katanya.
PT Pertamina mengaku masih menanggung rugi menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang pada Maret lalu telah dinaikkan sebesar Rp200 per liter. Harga Pertalite yang telah dinaikkan dua kali pada tahun ini pun dinilai masih di bawah harga keekonomian.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto mengatakan, harga Pertalite harusnya bisa diturunkan.
Ia mengungkapkan, Pertamina saat ini masih memakai batasan margin yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 yang mengacu kepada Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 yakni berkisar minimal 5 persen dan maksimal 10 persen.
“Enggak mungkin (rugi-red). Karena ini dianggap pasar gitu. Ya turunin ininya dong. Harga pasar dia kan segini nih, dia bilang, karena dia ambil mungkin marginnya 10 persen,” kata Djoko dengan nada tinggi.
Oleh karena itu, dia menegaskan pemerintah bakal menghapus batas bawah margin paling rendah 5 persen, sehingga seluruh badan usaha bisa menjual dengan harga yang lebih merakyat. “Kalau mau fair dibandingkan dengan negara lain. Karena bisa lebih murah,” kata dia.
Djoko juga mengungkapkan bahwa harga BBM dalam negeri bisa lebih mahal lantaran biaya distribusi yang membuat margin terlalu banyak, yang disebabkan oleh rantai distribusi yang terlalu lebar.#ren