India Akui Hak LGBT Sejak Zaman Kuno, Bukan karena Pengaruh Barat

Mahkamah Agung India menetapkan bahwa hubungan seks antara pasangan sejenis legal pada September lalu. (Getty Images)

New Delhi – Dekriminalisasi terhadap komunitas gay adalah berita terbesar di India pada tahun 2018 yang baru saja berlalu.

Jadi, tidak mengejutkan bahwa topik itu diperdebatkan dalam pesta akhir tahun yang saya datangi di Delhi.

Banyak yang beranggapan keputusan Mahkamah Agung, yang mencabut pasal yang mempidanakan hubungan sesama jenis, menunjukkan bahwa India telah mengadopsi nilai-nilai Barat terkait dengan liberalisme.

“Kami setara dengan negara-negara lain seperti Inggris, Prancis dan negara-negara Eropa lain yang menetapkan bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang legal,” ujar teman saya gembira.

“Sikap kami terhadap komunitas LGBT sama dengan orang-orang Barat.”

Diskusi terkait hal ini juga bergulir di media sosial, yang menunjukkan banyak orang yang sepakat dengan anggapan tersebut.

Namun, apa hal itu benar? Ahli sejarah dan mitologi India memiliki pandangan yang berbeda.

Sejarawan ternama, Harbans Mukhia, mengatakan orang harus paham mengapa pemerintah kolonial Inggris dulu menyatakan bahwa aktivitas seks gay itu ilegal.

Pemerintah Inggris membawa hukum mereka ke India, termasuk Pasal 377, yang melarang homoseksualitas dan mengkategorikannya sebagai perilaku kriminal.

Peraturan ini diterapkan oleh pemerintah Inggris saat itu meskipun hal itu tidak sesuai dengan pandangan India mengenai homoseksualitas. Aturan ini lebih terkait dengan sistem kepercayaan Kristen, katanya.

Dia menambahkan keputusan pengadilan telah mengembalikan India ke posisi awalnya.

Ahli-ahli lain meyakini bahwa India lebih terbuka kepada homoseksualitas sebelum masa pemerintahan Inggris. Terdapat dokumen-dokumen sejarah Abad Pertengahan dan mitologi-mitologi yang membuktikan hal itu.

Sejarawan Rana Safvi mengatakan “cinta dirayakan di India dalam berbagai bentuk”.

“Baik India di masa kuno atau di Abad Pertengahan, perubahan orientasi seksual terjadi di masyarakat. Kuil Khajuraho dan kronik Mughal memperlihatkan homoseksualitas,” ujarnya.

Contoh yang paling jelas terkait hal ini dapat dilihat di kota Khajuraho di Madhya Pradesh.

Kuil ini didirikan antara tahun 950 dan 1050 oleh Dinasti Chandela. Ukiran-ukiran erotis dalam kuil itu dengan jelas menggambarkan homoseksualitas. Pahatan yang sama juga dapat ditemui di Kuil Matahari yang dibuat pada Abad ke-13 di Konark di sebelah timur Orissa dan gua biara Buddha di Ajanta dan Ellora di sebelah barat Maharashtra.

Ahli mitologi Devdutt Patnaik sudah sangat sering menjelaskan tentang keterbukaan Hindu pada homoseksualitas.

“Penggunaan kata homoseksualitas dan peraturan yang melarang perilaku seks yang ‘tidak alamiah’ diterapkan di seluruh dunia melalui kekuasaan pihak kerajaan. Mekipun pengaruh larangan itu sangat kuat, hal itu tidak universal atau abadi,” ujarnya seperti dilansir dari website pribadinya.

“Peraturan macam itu adalah produk pikiran yang dipengaruhi oleh paham bahwa ‘seks adalah dosa’ seperti ditunjukkan oleh Injil,” tandasnya.

“Dengan tipe keangkuhan kolonial yang khas, definisi, hukum, teori, dan sikap Eropa betul-betul mengabaikan bagaimana aktivitas seksual serupa dipandang dalam budaya lain.”

Dia yakin bahwa kriminalisasi homoseksualitas adalah konsep yang dibawa pihak asing.

“Gambar-gambar di kuil, kitab-kitab suci dan buku-buku agama memperlihatkan bahwa aktivitas homoseksualitas dalam bentuk tertentu eksis di India kuno. Meski bukan bagian arus utama, keberadaannya diakui meskipun tidak disetujui,” ujarnya.

KuilKhajuraho adalah tujuan pariwisata yang populer di India.Profesor Mukhia mengatakan buku-buku dan kitab suci di masa lalu menunjukkan orang-orang tidak dipandang sebelah mata.

“Ada yang tidak sepakat dengan homoseksualitas, tapi orang-orang LGBT tidak diasingkan. Lingkungan mereka toleran dan tidak ada orang yang dipersekusi karena ia seorang homoseksual.

“Anak dari Alauddin Khalji, Mubarak, diketahui memiliki hubungan dengan salah seorang pria terhormat di lingkungannya,” tambahnya. Khalji memerintah kesultanan Delhi antara tahun 1296 hingga 1316.

Babur, yang mendirikan dinasti Mughal, yang menguasai hampir keseluruhan wilayah India dan Pakistan pada abad 16 dan 17, juga menuliskan kecintaannya pada laki-laki.

“Dia menuliskan, tanpa rasa malu, bahwa ia jatuh cinta dengan seorang laki-laki bernama Baburi. Tidak ada perdebatan terkait tulisan itu pada zamannya atau sesudahnya,” lanjut Profesor Mukhia.

Ahli-ahli sejarah percaya pandangan konservatif India terkait homoseksualitas dimulai dari masa pemerintahan Inggris. Pandangan itu kian menguat setelah kemerdekaan India.

Profesor Mukhia menambahkan bahwa Pasal 377 tetap diberlakukan setelah kemerdekaan India di tahun 1947 karena “apatisme para politisi dan ketidakpedulian kita terhadap sejarah”.

Komunitas LGBTQ menginginkan India yang lebih liberal. (Getty Images)

Keshav Suri, pemilik jaringan hotel dan seorang aktivis LGBT ternama, percaya bahwa anak-anak muda perlu dididik terkait sejarah LGBT.

“Sekolah tidak pernah mengajarkan saya tentang Khajuraho dan karakter-karakter LGBT dalam mitologi kita. Hal ini harus diubah. Dulu, transgender dianggap sebagai dewa dan dewi. Mereka adalah pujangga, seniman dan pemerintah di abad pertengahan,” ujarnya.

Dia menambahkan anak-anak muda perlu tahu bahwa masyarakat sangat terbuka dan toleran di masa lalu. Dan, Profesor Mukhia sepakat.

“Di tahun 2018, kita menemukan apa yang hilang dalam masa kolonialisme keterbukaan terhadap komunitas LGBT.”
(ita/ita)



Leave a Reply